Bijak Menggunakan Media Sosial

Hasrat untuk menceritakan pikiran-pikiran, pandangan dan pengalaman adalah salah satu alasan media sosial dan jaringan sosial online menjadi begitu popular.

Dahulu sebelum ada media sosial (path, twitter, facebook, instagram dll) ungkapan perasaan dan pikiran yang kini sering disebut curhat, ditulis dibuku harian (diary) atau disampaikan kepada sahabat dan orang-orang terdekat yang dapat dipercaya mampu menyimpan rahasia. Biasanya para gadis yang kini disebut ABG, menyimpan buku harian itu di bawah bantal atau tempat rahasia agar tersembunyi, sehingga tidak dapat dibaca oleh orang lain.

Zaman telah berubah drastis, buku harian sudah jarang dihiasi kata-kata sejak ada media sosial, bukan hanya ABG tapi semua usia dan golongan suka curhat. Bisa jadi karena praktis, hanya butuh smart phone atau tablet, komputer dan jari tangan. Sanyangnya keterampilan menarikan jari tangan diatas pad ini kurang diimbangi argumentasi kuat dan data yang dipercaya sehingga sering menimbulkan polemik. Terkesan asal tulis dan tragisnya media sosial dijadikan sarana menumpahkan kebencian kepada orang atau golongan lain.

Beragam pesan di media sosial dari yang paling pribadi dan tidak perlu diketahui umum sampai pendapat pribadi mengenai persoalan berat yang tengah terjadi di masyarakat. Padahal banyak dari kita yang sejak kecil mengalami kesulitan membuat tulisan karena tidak suka menulis namun pengaruh gadget membuat hidup menjadi praktis dan memicu orang untuk keranjingan menulis.

Begitu sering seseorang menganti-ganti status dalam sehari di media sosial. Sedang berada di tempat makan saja disebarluaskan lengkap beserta fotonya. Lagi kesal sama bos ataupun orang dekat segera update status sehingga teman yang di luar negeripun dalam hitungan detik dapat mengetahuinya. Gembira karena kelahiran anak, mau berlibur keluar negeri, ataupun sedang cuci baju karena pembantu sedang pulang kampung, patah hati ditinggal pacar adalah informasi yang sangat sering di share agar orang-orang maklum. Bahkan hal yang sangat pribadi sering kali di posting sehingga orang lain tau. Agaknya tidak ada lagi yang disebut privacy, selain itu kata-kata kasar acapkali mewarnai postingan di media sosial.

Yang tidak suka menampilkan diri alias kaum introvert menyebut para penggemar sosial media sebagai kaum narsis. Apalagi dengan kecanggihan smart phone dengan dual camera sehingga dapat memotret diri sendiri tanpa bantuan orang lain yang dikenal dengan selfie yang semakin asik dengan bantuan tongsis (tongkat narsis), ataupun trend “alay” yang menurut Koentjara Ningrat adalah gejala yang dialami pemuda-pemudi Indonesia, yang ingin diakui statusnya diantara teman-temannya. Gejala ini akan mengubah gaya tulisan, dan gaya berpakain, sekaligus meningkatkan kenarsisan, yang cukup mengganggu masyarakat dunia maya (baca: Pengguna internet sejati, kayak blogger dan kaskuser).

Sebaliknya media sosial oleh orang tertentu dijadikan saluran untuk hal-hal yang membangun sesuatu yang positif seperti kata-kata bijak, kalimat inspiratif, renungan, informasi yang perlu diketahui umum (jalan rusak, kemacetan, kecelakaan, pohon tumbang).

Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang membuat kita suka berkicau di media sosial? Menurut buku Contagious: Why Things Catch On; “Self Sharing terus kita lakukan sepanjang hidup, kita bercerita kepada teman-teman tentang baju-baju baru yang kita beli dan memamerkan kepada anggota keluarga, hasrat untuk menceritakan pikiran-pikiran, pandangan-pandangan dan pengalaman-pengalaman ini adalah salah satu alasan media sosial dan jaringan sosial online menjadi begitu popular.”

Dibuku yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Contagious : Rahasia di Balik Produk dan Gagasan yang Poluler, 2014, Berger menulis para peneliti menemukan lebih dari 40% yang mereka perbincangkan di media sosial adalah pengalaman pribadi atau hubungan pribadi mereka. Begitu pula sekitar setengah dari kicauan di twitter berfokus pada “saya” dan mengoceh tentang yang sekarang sedang mereka lakukan atau sesuatu yang terjadi kepada mereka.

Mengapa orang berbicara begitu banyak tentang sikap-sikap dan pengalaman mereka sendiri alasannya kata Berger, “Lebih dari sekedar kesombongan; kita sungguh melakukannya karena menemukan bahwa itu menyenangkan.”

Ungkapan kekesalan dan makian adalah manusiawi asalkan pemilihan kata-kata jangan sampai menyerempet hal-hal yang bisa dianggap penghinaan, pencemaran nama baik apalagi fitnah. Kalau perasaan sedang berbunga-bunga tentu yang akan muncul adalah kalimat indah di media sosial namun bila hati sedang marah dan pikiran kacau berhentilah sejenak dan tunda menullis di media sosial.

Populasi pengguna media sosial di Indonesia sangat besar, sehingga apapun yang ramai di kicaukan akan menjadi Trending Topic di media sosial seperti #SaveHajiLulung, #saveahok, #saveKPK yang menjadi ajang saling dukung ataupun bully seseorang atau institusi di media sosial, harusnya kita lebih bijak untuk masalah seperti ini karena trading topic Indonesia akan sangat gampang menjadi trending topic dunia mengingat pengguna media sosial kita yang sangat banyak, hal ini akan sangat berpengaruh kepada citra bangsa kita, dan sebagai netizen haruslah tetap mempertahankan karakter bangsa kita sebagai bangsa yang santun dan bermartabat.

Dimuat di Surat Kabar Pos Bali

Edisi Selasa, 10 Maret 2015